Beranda | Artikel
Bolehkah Anak-Anak Main Boneka?
Kamis, 11 Januari 2018

Anak kecil terutama anak perempuan, membutuhkan perhatian yang lebih intens dari kedua orang tuanya, sebab mendidik mereka tentang agama dan hal lainnya dengan baik memiliki keutamaan tersendiri di dalam Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ فَأَطْعَمَهُنَّ وَسَقَاهُنَّ وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَّتِهِ كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, kemudian ia bersabar atas mereka, memenuhi pangan dan sandangnya dari hasil pencariannya sendiri, maka anak-anaknya tersebut akan menjadi dinding penutup antara dirinya dan api neraka” (HR. Ahmad no. 17403, Ibnu Majah no. 3669 dan Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 76. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan hadits ini hasan lighairihi dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Salah satu kekhususan bagi mereka adalah diperbolehkannya bermain boneka. Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukannya.

كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي؛ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ، فَيَلْعَبْنَ مَعِي

“Dahulu aku sering bermain dengan boneka anak perempuan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dahulu aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah, teman-temanku pun berlari sembunyi. Beliau pun meminta mereka untuk keluar agar bermain lagi, maka mereka pun melanjutkan bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130 dan Muslim no. 2440).

Abu Dawud rahimahullah juga meriwayatkan sebuah hadits dari Ibunda kaum mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ : مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ. قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ. قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ : وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ. قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ : فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ. قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.

“Suatu hari, Rasulullah pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar (perawi hadits ragu, pen.) sementara di kamar (‘Aisyah) ada kain penutup. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan ‘Aisyah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Apa ini wahai ‘Aisyah?’ Dia (‘Aisyah) pun menjawab, ‘Boneka-boneka (mainan) milikk.’ Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua helai sayap. Lantas beliau pun bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa itu yang ada pada bagian atasnya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kedua sayapnya.’ Beliau menimpali, ‘Kuda punya dua sayap?’ ‘Aisyah menjawab, “’Tidakkah Engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?’ Beliau pun tertawa hingga aku melihat gigi beliau” (HR. Abu Dawud no. 4934, hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani).

Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan dalil yang jelas bahwa mainan tersebut bukanlah berbentuk manusia (utuh, pen.).”

Al-Khathabi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa boneka mainan anak-anak (‘Aisyah, pen.) tidak termasuk mainan bergambar (makhluk bernyawa) yang terdapat larangan dalam hadits. Sesungguhnya hanyalah diberikan keringanan hukum (rukhshoh) bagi ‘Aisyah terkait boneka-boneka mainannya karena pada saat itu ‘Aisyah belum baligh.”

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Aku katakan terkait adanya pemastian bahwa hal ini terjadi ketika ‘Aisyah belum baligh, (sebetulnya) itu masih berupa kemungkinan, karena ‘Aisyah pada saat terjadi perang Khaibar masih berusia 14 tahun atau sekitar itu, sedangkan ketika terjadi perang Tabuk, beliau sudah dapat dipastikan telah baligh. Sehingga riwayat yang menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi setelah perang Khaibar lebih kuat (artinya, ketika itu ‘Aisyah belum baligh, pen.). Dengan demikian, dapat dikompromikan dengan apa yang disebutkan Al-Khathabi (sebelumnya) sehingga terhindar dari adanya pertentangan makna (yaitu larangan gambar atau patung makhluk bernyawa, pen.)” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, XIII/701).

Sebelumnya, An-Nawawi Asy-Syafi’i (wafat tahun 676 H) rahimahullah mengatakan, “Al-Qadhi berpendapat bahwa hadits ini merupakan dalil bolehnya bermain dengan boneka. Ini merupakan pengkhususan dari dalil tentang gambar (makhluk bernyawa) yang dilarang. Beliau berdalil dengan hadits ini (untuk menyatakan) perlunya latihan bagi anak perempuan ketika masih kecil dalam rangka persiapan untuk kelak mengurusi diri mereka sendiri, rumah tangga, dan anak-anak mereka.”

Namun beliau juga menyebutkan bahwa sebagian ulama menganggap bahwa hukum hadits ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits tentang larangan gambar (makhluk bernyawa)” (Diringkas dari Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, XVI/200).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya terkait hal ini. Berikut kami cantumkan.

“Ada beragam boneka mainan, di antaranya ada yang terbuat dari kapas. Boneka tersebut memiliki kepala, dua tangan dan dua kaki. Ada juga yang betul-betul mirip dengan manusia, bisa bicara, menangis dan berjalan. Lantas apa hukumnya membuat atau memperjualbelikan boneka semisal ini untuk anak-anak perempuan yang masih kecil sebagai bentuk pengajaran (pendidikan) dan sekedar mainan (hiburan) baginya?”

Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Adapun boneka yang tidak detail (sempurna) bentuknya menyerupai manusia (makhluk hidup), (maksudnya) yang hanya berbentuk tubuh dan kepala namun tidak sempurna seperti makhluk, maka tidak diragukan lagi boleh hukumnya. Inilah jenis boneka yang dimainkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Adapun boneka yang sempurna (detail), sehingga seolah-oleh kita sedang melihat seorang manusia, apalagi boneka tersebut dapat bergerak, ada suara, maka saya mendapati pada hati saya ada ganjalan untuk membolehkannya (artinya beliau sebenarnya tidak membolehkannya, pen.), sebab boneka tersebut benar-benar menyerupai, menyamai makhluk ciptaan Allah Ta’ala. Sedangkan hadits tentang mainan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak demikian bentuknya, sehingga meninggalkan boneka semisal ini lebih layak (lebih utama). Melarang secara pasti (tegas) pun masih debatable, sebab anak-anak diberikan keringanan yang tidak diberikan kepada orang yang telah baligh, karena anak-anak masih senang bermain dan suka hiburan, tidak seperti orang yang telah terbebani berbagai macam ibadah, sehingga boleh dikatakan bahwa mayoritas waktu anak dihabiskan untuk bermain.

Bila seseorang ingin lebih hati-hati terkait boneka yang mirip sekali dengan manusia, maka hendaklah dia menghilangkan kepalanya atau memanaskan bagian wajahnya hingga meleluh kemudian dia hapus detail-detail wajahnya (ringkasnya: membuat tidak jelas detail wajahnya- pen.)” (Diterjemahkan secara bebas dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin II/277-278, nomor pertanyaan 329).

Namun perlu diketahui bahwa ada juga sebagian ulama yang melarang hal ini [1].

Kesimpulan

Para ulama yang membolehkan bermain boneka, tujuannya adalah untuk mendidik si anak ketika masih kecil agar kelak ketika balig sudah dapat mengurus diri sendiri, rumah, hingga anak-anaknya. Adapun boneka yang sekedar dipajang di rumah-rumah, maka hendaklah kita takut dengan ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa malaikat tidak akan masuk pada rumah yang terdapat gambar makhluk bernyawa di dalamnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتاً فيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ

“Malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (makhluk bernyawa)” (HR. Bukhari no. 3226 dan Muslim no. 2106).

Wallahu Ta’ala a’lam bi shawab.

***

Diselesaikan ba’da ‘isya, Sigambal 30 Shafar 1439/ 18 November 2017

Baca juga:

  1. Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (1)
  2. Ganjaran Memelihara dan Mendidik Anak Perempuan
  3. Cara Mendidik Anak Puasa

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1]     Silakan lihat di Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, XII/112-113.

🔍 Menghina Orang Lain, Hadits Shahih Tentang Rumah Tangga, Hadits Malam Lailatul Qadar, Kewajiban Suami Terhadap Istri Dalam Islam, Pengertian Puasa Daud


Artikel asli: https://muslim.or.id/35639-bolehkah-anak-anak-main-boneka.html